Demo Bubarkan DPR RI Timbulkan Korban: Rakyat Kehilangan Kesabaran

(Penulis adalah Dosen, Pemerhati isu sosial-lingkungan, dan Mentor Kepemudaan-Kebangsaan).
banner 468x60

Opini – Aksi demonstrasi menuntut pembubaran DPR RI yang berlangsung dalam beberapa hari terakhir bukan sekadar luapan emosi sesaat. Ribuan massa turun ke jalan menandakan akumulasi kekecewaan panjang terhadap lembaga legislatif yang dianggap gagal menjalankan amanat rakyat.

Secara ideal, DPR dibentuk untuk mewakili suara rakyat, menjaga kepentingan publik, serta mengawasi jalannya pemerintahan. Namun, realitas di lapangan jauh berbeda. Absensi anggota dewan pada sidang, maraknya korupsi, hingga kebijakan yang dinilai lebih berpihak pada elite membuat DPR semakin asing di mata rakyat.

Krisis kepercayaan ini diperkuat oleh sejumlah faktor yang menyulut kemarahan publik:

RUU Perampasan Aset macet di parlemen, padahal publik menilai aturan ini penting untuk mengembalikan hasil korupsi.

Isu kenaikan gaji dewan di tengah krisis ekonomi, yang menimbulkan kesan DPR mementingkan diri sendiri.

Kebijakan pajak dan pungutan baru yang menekan rakyat kecil.

Kasus korupsi berulang, seakan menjadi tradisi politik.

Peran DPR sebagai perantara proyek, yang mengubah parlemen menjadi agen bisnis.

Gabungan faktor itu membuat rakyat menilai jalanan sebagai satu-satunya kanal aspirasi.

Tragedi di Jalanan, DPR Bersembunyi

Demonstrasi yang berakhir ricuh hingga menimbulkan korban jiwa menyingkap kegagalan serius dalam manajemen konflik politik di Indonesia. Puluhan demonstran luka-luka dan seorang pengemudi ojek online tewas. Tujuh aparat kini diperiksa, bukti bahwa standar pengamanan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Situasi ini mencerminkan paradoks demokrasi: DPR membuat kebijakan yang menyakiti rakyat, polisi dipaksa jadi tameng, rakyat menanggung luka, aparat ikut jadi korban, sementara wakil rakyat bersembunyi di balik kursi kekuasaan Senayan.

Ancaman Legitimasi Demokrasi

Jika DPR terus kehilangan kepercayaan, maka legitimasi sistem demokrasi ikut runtuh. Demokrasi tanpa dukungan rakyat hanyalah prosedur kosong. Lebih berbahaya lagi, tuntutan membubarkan DPR bisa membuka jalan menuju politik otoriter, karena rakyat yang kecewa mungkin tergoda mencari alternatif kekuasaan yang dianggap lebih tegas.

Gelombang protes ini seharusnya jadi alarm keras bagi DPR. Ada beberapa langkah mendesak yang harus segera dilakukan:

Menggencarkan regulasi antikorupsi, termasuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset.

Menghentikan pembahasan kenaikan gaji yang tidak sensitif terhadap kondisi rakyat.

Menutup celah kebocoran anggaran dengan pengawasan ketat.

Membersihkan lembaga dari praktik percaloan proyek.

Melibatkan publik secara nyata dalam proses legislasi.

Pesan Rakyat: Kesabaran Sudah Habis

Tragedi jatuhnya korban jiwa hanyalah puncak gunung es dari krisis kepercayaan yang lebih dalam. DPR kini berada di persimpangan: melakukan pembenahan serius atau perlahan ditinggalkan rakyat.

Sejarah telah berulang kali membuktikan: ketika parlemen mengabaikan suara rakyat, perubahan besar lahir dari jalanan, bukan dari kursi empuk kekuasaan.

(Penulis adalah Dosen, Pemerhati isu sosial-lingkungan, dan Mentor Kepemudaan-Kebangsaan).

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *